Sunday, June 10, 2012

P.U.L.A.N.G

Cabaran sinar ultra dalam gemuruh yang menggenang ke arah panas
Memaksa diri untuk menahan segala amarah dan keinginan
Memutus segala kesempatan yang menusuk ke arah aorta darah

Tak pernah aku separah ini, segala yang ditulis harus segera dihentikan, yang membuatku menjadi begitu peka..seakan-akan seperti menusukkan jarum kedalam rentang daging di sudut tanganku...

Aku masih penasaran atas apa yang Tuhan takdirkan pada jalan hidupku...
Dan aku tak pernah melawan dan tak pernah tak ridho atas takdir ini...
Semua kujalani dengan sepenuh hati dan tanpa mengeluh...

Tinggal satu harapanku...dapatkah diriku berada dalam pasukan yang bergemuruh ketika berangkat menuju pembelaan atas nama Dien ku...
memoles kejayaan agama ini sekali lagi..di ujung peradaban yang semakin rapuh...seperti tak ada penolong lagi akan jaya lagi...

Menjemput takdir hadist bahwa ummat ini akan berjaya lagi diujung zaman ini...lalu kemudian hari akhir tiba...
Aku ingin menjadi bagian dari itu semua, dimana aku bisa menebus semua salah dan dosa-dosa ku pada Robb yang aku sembah...
Menjadi seorang martir yang disaksikan oleh para malaikat kemudian dipulangkan ke syurga dimana para bidadari menunggu dengan harap-harap cemas...

Aku ingin cepat pulang wahai Robb...seperti yang aku impikan

Serambi Mekkah

Negeri ini bernama Nangroe Aceh Darussalam, sebuah negeri yang Alloh takdirkan syariat Islam tertegak. Aku  disini sudah sekitar sebulan. Sejauh ini aman dan nyaman tidak ada gejolak apapun tapi memang cuaca sangat-sangat ekstrim, kata orang Aceh pun cuaca seperti ini tidak seperti biasanya.

Ada suatu kisah yang sangat mengaitkan antara aku dan Aceh, cerita yang membuatku begitu akrab dengan Aceh, Pertama Aceh adalah etnis abang-abangku yang tiga orang, mereka yang lahir dari rahim bundaku Latifah, dari seorang suami yang namanya cukup termasyhur di era Bung Karno, ya Teuku Markam, nama itu sangat di kenal ketika aku menyebutnya disini, almarhum Teuku Markam adalah pengusaha Aceh yang sukses di rantau tepatnya di Jakarta, kabarnya beliau punya andil besar dalam pembangunan jalan antara Medan dan Banda Aceh, andilnya juga sempat dilupakan sejarah karena salah seorang pengusaha yang menyumbang emas dipuncak Monas juga pesawat perdana Garuda Airways..Seulawah.

Kedua, pada saat aku meninggalkan Banda Aceh tahun 2004, sesaat setelah menunaikan tugas sebagai relawan dari PKS, salah seorang fungsionaris PKS Ustadz Syeifunsyah bilang bahwa sebaiknya aku tinggal saja di Aceh untuk menggantikan kader-kader inti PKS yang saat itu entah dimana, mungkin jadi korban bencana, tapi aku menolak dan aku katakan kalau aku punya pekerjaan di Jakarta, nanti saja jika cita-cita ku kesampaian jadi Manager aku akan kembali ke Aceh, entah mengapa hari ini semua terwujud, aku diberi amanah dari kantor pusat untuk menjadi seorang manajer operasi cabang Banda Aceh per 1 Mei 2012...lengkap sudah mimpi itu.

Aceh hari ini berkembang pesat, mengejar ketertinggalan dari propinsi lain di nusantara, dulu sewaktu aku akan memasuki kota Banda Aceh, antara jalan Medan dan Banda Aceh setiap 300 meter dijaga oleh pos tentara rider sehingg ketika ingin lewat pasti ditanya tentang macam-macam mulai dari surat jalanlah sampai niat ke Aceh mau ngapain, sekarang pos-pos tentara itu ada juga tidak bekas-bekasnya.

Bencana Tsunami telah mengubah semuanya, sampai akhirnya syariat Islam dijalankan di bumi rencong ini mungkin pun terwujud karena otonomi daerah yang diberikan pusat kepada pemerintah daerah setempat.

Bumi Aceh memang kaya raya...sampai-sampai semua kebutuhan kebutuhan utama rakyat Aceh menjadi komoditi penting untuk dikirim ke kota Medan, semuanya...sehingga apa yang kembali dari Medan menjadi mahal ketika sudah di Aceh. Salah seorang tetua yang sempat binmcang-bincang dengan ku mengatakan, Banda Aceh ini semua mahal...iyalah inilah kota tempat tinggal para raja sehingga semua mahal.

Memang sedikit terbukti, karena aku lihat tidak ada orang Aceh yang mau kerja kasar disini, mulai dari bertani atau bercocok tanam di sawah-sawah atau yang mengerjakan pekerjaan kuli di bangunan-bangunan yang sedang dibangun...jarang orang Aceh ada. Lalu kemana mereka? jika boleh dibilang bukan karena orang Aceh malas...tetapi mereka sudah sepantasnya jadi tuan tanah dinegeri sendiri..ya kurang lebih aku setuju.

Makanan disini enak semua dan istimewa semua, kuliner disini semantap masakan yang pernah dibuat almarhum ibuku...sehingga lidahku bertemu lagi dengan jodohnya...ya makanan Aceh cita rasanya tdk jauh bedalah dengan masakan Padang dan masakan Medan, tapi memang lebih ramai dengan bumbu dan rempah-rempahnya.

Yang aku heran setiap aku selesai makan di warung-warung tradisional Aceh selalu saja setelah itu kantuk datang menyerang tanpa ampun, hal yang jarang sekali terjadi jika aku makan di Jakarta atau ditempat manapun...itulah istimewanya.

Pernah suatu ketika aku pergi dengan teman untuk minum kopi di kedai, kopi yang aku minum memang biasa saja, entah apa yang membuatku begitu lain...ya setelah itu aku tak bisa tidur, padahal minumnya dari jam 8 malam, mataku terbelalak hingga jam setengah empat pagi.

Begitu besar harapanku pada Aceh, tempat ini menyimpan segudang peluang bagi penduduknya. Kesempatan itu menjadi agak pesimis melihat kota Sabang yang tadinya merupakan pelabuhan bebas diujung Sumatera ini, mati gaya karena pemerintah pusat membangun pusat transit perdagangan di Batam sehingga Sabang menjadi mati suri, padahal seperti yang pernah diceritakan kepada ku, sewaktu Sabang masih jaya perputaran uang begitu besar di Aceh, segala kebutuhan mudah didapat dan murah
tapi karena pemerintah pusat berkeinginan lain maka Batam-lah segalanya sekarang dan rakyat Aceh tinggal gigit jari.

Dilihat dari sejarahnya jika pemerintah pusat ingin melihat lagi sesungguhnya Sabang lah transit perdagangan yang paling strategis karena berada di ujung pulau Sumatera, keberadaan Sabang menghidupkan kota-kota seperti Banda Aceh dan sekitarnya mestinya wakil-wakil rakyat Aceh di DPR harus memperjuangkan hal ini. Bisa saja mereka meminta pembagian yang adil antara Batam dan Sabang, sehingga tdk semuanya kapal-kapal dagang itu transit di Batam, tetapi diperbolehkan juga merapat di Sabang.

Semuanya yang memutuskan adalah pusat juga, karena pemerintah pusatlah Sabang mati suri..dan rakyat Aceh harus lebih kerja keras lagi memakmurkan Banda Aceh seperti dulu. Dan aku begitu membela daerah ini sekarang, karena aku hidup dan berkarya disini di Banda Aceh...

Semoga semuanya bertambah baik..amin